banner image

Header Ads

test
banner image

Kajian Historis Tasawuf ( Tasawuf )



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Iman, Islam dan Ihsan merupakan satu rangkaian dalam beragama Islam, sehingga tidak boleh dipisahkan di antara ketiganya. Alasan itu sendiri sebagai alat kontrol manusia dalam segala perbuatannya dapat dikaitkan dengan tasawuf. Adanya keterkaitan ini maka tasawuf termasuk sebuah sisi ajaran dalam Islam yang keberadaannya belum begitu mendapat perhatian secara penuh oleh umat Islam, padahal tasawuf sebenarnya juga merupakan sumber dan fitalitas dari wujud dan kegiatan yang bermuara pada sebuah pengenalan terhadap universalitas ajaran Islam. Betapapun kita telah sepakat bahwa Islam adalah suatu agama yang bisa menjawab dan memecahkan beberapa persoalan yang timbul dan melilit di dalam perjalanan kehidupan manusia baik yang bersifat ukhrawiah maupun duniawiah, baik yang nyata maupun yang metafisika.
            Keuniversalan ajaran Islam yang sanggup menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi manusia dan tasawuf sebagai bagian dari ajaran Islam, tentunya sanggup menjawab dan memecahkan persoalan yang dihadapi manusia, khususnya umat Islam dalam aspek duniawi dan ukhrawi, sehingga diperoleh nilai keseimbangan antara keduanya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf ?
2. Bagaimana asal-usul tasawuf?
3. Bagaimana pendapat tentang muncul dan perkembangan tasawuf?
           


BAB II
PENGERTIAN TASAWUF

A. Pengertian Tasawuf
Dalam mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara etimologi maupun secara istilah, para ahli berbeda pendapat. Secara etimologi, pengertian tasawuf terdiri atas beberapa macam pengertian berikut.
            Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlus suffah [
اهل الصّفة ], yang berarti sekelompok orang pada masa Rosulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alloh SWT.[1]
Kedua, tasawuf berasal dari kata shafa [ صفاء ]. Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang menyucikan dirinya di hadapan Tuhannya.[2]
Ketiga, istilah tasawuf berasal dari kata shaff [صف] artinya barisan shalat. Karena orang-orang yang kuat serta suci batasnya biasanya shalat memilih shaff ( barisan ) yang dimuka dalam berjamaah.[3]
Keempat, istilah tasawuf dinisbahkan kepada orang-orang dari bani Shufah.
Kelima, tasawuf dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yaitu saufi [ سوفى ]. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah [ حكمة ], yang berarti kebijaksanaan.[4]
Keenam, ada yang mengatakan berasal dari kata Shufanah, yakni nama kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir.[5]
Ketujuh, tasawuf berasal dari kata shuf  [صوف] yang berarti bulu domba atau wol.
Dari ketujuh terma tersebut, yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang ini adalah terma ketujuh, yaitu terma shuf. [6]
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Alloh SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menhubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.[7]

B. Asal-usul Tasawuf
          Para Sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi munculnya tasawuf dalam Islam. Abul A’la ‘Afifi dalam Kata Pengantar Edisi Arab, Fit Tashawwuf al-Islami wa Tarikhihi, mengklasifikasikan pendapat para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep.
Nicholson lebih condong menyimpulkan bahwa tasawuf itu sedikit banyak telah dipengaruhi oleh faktor Nasrani ( Nicholson, 1969 ). Namun hal ini dibantah oleh al-Taftazani(1970) bahwa dalam Islam tidak ada sistem kependetaan (rahbaniyah) sebagaimana terdapat dalam agama Nasrani. Adanya kesamaan antara tasawuf dengan rahbaniyah dalam Nasrani tidak berarti Islam mengambil daripadanya, karena kehidupan semacam tasawuf merupakan kecenderungan universal yang terdapat dalam semua agama atau bisa juga dikatakan bahwa sumber agama adalah satu, sekalipun berbeda dalam segi formal dan detailnya. Makan dengan demikian adanya kesamaan itu adalah logis.
Terhadap pandangan orientalisnyang menyatakan bahwa tasawuf dalam Islam dipengaruhi oleh rahbaniyah Nasrani, dia menyatakan bahwa mereka salah dalam menafsirkan terhadap para hanif. Nicholson kembali mempertegas teorinya, bahwa bangsa Arab mengetahui tentang kepercayaan Nasrani meskipun hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari sya’ir-sya’ir mereka yang mengenal kerahiban Nasrani. Mereka memuliakan para rahib itu, dan dari para rahib itu pula mereka mengambil pelajaran tentang tasawuf. Pandangan ini dibantah oleh Nasysyar (1977), bahwa yang diteladani dan dimintai petunjuk bukanlah rahib Nasrani, akan tetapi para hanif  yang tidak mau menyembah berhala. Mereka lebih dekat dengan kepercayaan tauhid, hidup bertasawuf dan mujahadah, memakai pakaian bulu domba (shuf),  mengharamkan memakan sebagian makanan yang halal. Mereka inilah yang banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad saw. dan bahkan   dua orang dari mereka ada yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi saw.
Menurut al-Nasysyar ada kekeliruan lain dari Nicholson, yakni dalam menafsirkan Qus ibn Sa’idah al-;Iyadi. Dengan berpegang kepada pendapat Ibn Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah, bahwa suatu ketika Jarud ibn al-Ma’la ibn Hamsy ditanya oleh Nabi Muhammad saw. tentang Qis ibn Sa’idah, maka Jarud menjawabnya bahwa dia memutar biji tasbih seperti Isal al-Masih, berpakaian pendeta, hidup bagai hidupnya pengembara dan pendeta. Dia pernah berjumpa dengan Sam’an, kepala kaum Hawariyyin. Lebih jauh lagi diceritakan oleh Jarud bahwa Qus adalah orang yang pertama mengesakan Tuhan dan menyakini Hari Kebangkitan dan pada akhir ceritanya, Jarud menyatakan bahwa dia adalah seorang hanif yang mentauhidkan Alloh, katanya:
Tidaklah begitu, bahkan Dia ( Tuhan ) adalah Tuhan yang Esa, tidak diperanakkan dan memperanakkan, Dzat yang mengembalikan dan mengekalkan, mematikan dan menghidupkan, pencipta laiki-laki dan perempuan, Tuhan dunia dan akhirat.”
Berdasarkan inilah, maka al-Nasysyar berkesimpulan bahwa Qus ibn Sa’idah al-‘Iyadi adalah bukan seorang Nasrani, tetapi seorang hanif.
Dengan demikian tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al Qur’an dan al-Sunah, yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu, kedua sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat tahajjud (al-Muzammil, ayat 7 ), berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan inti tasawuf. Al Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang wara’, dan taqwa dalam surat al-Ahzab ayat 35 sebagai berikut :
إنّ المسلمون والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصّادقين والصّادقات والصّابرين والصّابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدّقين والمتصدّقات والصّائمين والصّائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذّاكرين الله كثيرا والذّاكرت اعدالله لهم مغفرة وأجراعظيما
            “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, sabar, khusyu’, mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Alloh, maka Alloh akan menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
            Ayat ini mendorong kepada umat manusia agar mempunyai sifat-sifat terpuji itu. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar manusia termotivasi mencari surga dan menjauhkan diri neraka.[8]
C. Perkembangan Tasawuf
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Kesatu dan Kedua Hijriah.
            Perkembangan tasawuf pada abad kesatu dan kedua hijriah dapat dibagi ke dalam empat aliran.
1). Aliran Madinah
            Sejak masa awal, di Madinah telah muncul para sufi. Mereka kuat berpegang teguh pada Al Quran dan As-Sunnah, dan menetapkan Rosululloh SAW. sebagai panutan kezuhudannya. Para sahabat dalam kehidupannya selalu mencontoh kehidupan Rosululloh SAW. yang serba sederhana dan hidupnya hanya diabdikan kepada Tuhannya. Para sahabat tersebut adalah sebagai berikut :
a). Abu Bakar Ash-Shiddiq ( w. 13 H ) .
b). Umar bin Khaththab ( w.23 H ).
c). Utsman bin Affan ( w.35 H ).
d). Ali bin Abi Thalib ( w. 40 H )
e). Salman Al-Farisi ( w.32 H ).
f). Abu Dzar Al-Ghifary ( w.22 H ).
g). Ammar bin Yasir ( w.37 H ).
h). Hudzaifah bin Al-Yaman ( w. 36 H )
i). Al-Miqdad bin Al-Aswad ( w.33 H )
            Di antara tokoh-tokoh ulama sufi pada masa tabi’in dari aliran Madinah adalah:
( 1 ). Sa’id ibn Al-Musayyab ( w. 91 H )
( 2 ). Salim bin ‘Abdullah
2). Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan bahwa pada abad kesatu dan kedua Hijriah terdapat dua aliran asketisme Islam yang menonjol, yaitu Bashrah dan Kufah. Di antara tokoh sufi yang menonjol dari Aliran Basrah.
a). Al-Hasan Al-Bashry ( 22 H – 110 H )
b). Rabi’ah Al-Adawiyah ( 96 H/713 M – 185 H/801 M )
c). Malik bin Dinar ( w. 131 H )
3). Aliran Kufah
            Aliran Kufah bercorak idealis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hadis. Mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Murji’ah. Itu terjadi karena Syi’ah adalah aliran kalam yang pertama kali muncul di Kufah. Di antara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut :
a). Sufyan Ats-Tsaury (97 H/715 M – 161 H/778 M ).
b). Ar-Rabi’ bin Khatsim ( w. 67 H ).
c). Sa’id bin Jubair ( w. 95 H ).
d). Thawus bin Kisan ( w. 106 H ).
4). Aliran Mesir
            Di antara tokoh-tokoh sufi aliran Mesir abad pertama Hijriah adalah Salim bin “Atar At-Tjibi ( w. 75 H ), ‘Abdurrahman bin Hujairah ( w. 69 H ), Nafi’ ( w.117 H ), Al-Laits bin Sa’ad ( w. 175 H ), Hayah bin Syuraih (w. 158 H ), dan ‘Abdullah bin Wahab ( w. 179 H ).
            Pada awal abad pertama Hijriah, ulama-ulama tasawuf hanya berada dibeberapa kota yang tidak jauh dari kota Madinah, seperti kota Mekah, Kufah, Basrah, dan kota-kota kecil lainnya. Akan tetapi, pada abad kedua Hijriah, ulama-ulama tersebut sudah menyebar ke berbagai negeri di wilayah kekuasaan Islam. Kalau pada abad pertama, istilah sufi masih kurang dikenal oleh masyarakat Islam, kecuali yang dikenalnya dengan memberikan nama kepada ahli zuhud.
            Ciri lain yang terdapat pada perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah adalah kemurniannya dibandingkan dengan kemurnian tasawuf pada abad-abad sesusahnya yang sudah tercampuri ajaran filsafat beserta tradisi agama dan kepercayaan yang dianut oleh manusia sebelum Islam.
            Secara Umum, tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah memiliki karakteristik berikut :
1. Berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan memelihara diri dari azab neraka.
2. Bercorak praktis. Para tokohnya tidak menaruh perhatian untuk menyusun    teoretis atas tasawuf. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam  ketenangan dan kesederhanaan secara penuh, sedikit makan ataupun minum, banyak beribadah dan mengingat Alloh SWT, berlebihan dalam merasa berdosa. Yunduk mutlak kepada kehendak Alloh SWT, dan berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian, tasawuf pada saat itu mengarah pada tujuan moral.
3. Motivasi tasawufnya adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriah di tangan Rabi’ah Al-Adawiyah, muncul motivasi cinta kepada Alloh SWT.
4. Ditandai dengan kedalaman membuat analisis khususnya di Khurasan yang dipandang sebagai pendahuluan tasawuf secara teoretis.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Ketiga Hijriah
                 Pada abad ketiga Hijriah, terlihat adanya peralihan konkret pada asketisme Islam. Para asketis masa itu tidak lagi dikenal dengan gelaran tersebut, tetapi lebih dikenal dengan sebutan sufi. Mereka pun cenderung memperbincangkan konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya tentang moral, jiwa, tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Alloh SWT. yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqom) dan keadaan (hal), makrifat dan metode-metodenya, tauhid, fana’, penyatuan atau hulul.
                 Selain itu, mereka pun menyusun prinsip-prinsip teoretis dari semua konsep diatas. Bahkan, mereka mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan mereka, yang asing bagi kalangan luar mereka.
                 Dapat dikatakan bahwa abad ketiga adalah abad awal mula tersusunnya ilmu tasawuf dalam arti yang luas. Selain itu, karakteristik tasawuf, sebagaimana telah dikemukakan, mulai tampak jelas. Kondisi ini tetap berlangsung sampai abad keempat sehingga tasawuf kedua abad ini bisa dipandang sebagai tasawuf yang perkembangannya telah mencapai kesempurnaan.
            Menurut At-Taftazani, terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga dan keempat. Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat ( tasawuf Sunni ). Tasawufnya selalu merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan kata lain, tasawuf aliran ini selalu bertandakan timbangan syariah. Sebagian sufinya adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua, aliran para sufi yang terpesona oleh keadaan-keadaan fana’ ( tasawuf semifilosofis ). Mereka sering mengucapkan kata-kata ganjil yang terkenal dengan sebutan syathahat.
            Tokoh-tokoh sufi yang terkenal pada abad ini, antara lain sebagai berikut.
a). Abu Sulaiman Ad-Darani ( w. 215 H )
b). Ahmad bin Al-Harawy Ad-Damasqiy ( w.230 H )
c). Dzu An-Nun Al-Misri  ( 155 H/770 M – 245 H/860 M )
d). Abu Yazid Al-Bustami ( w.261 H/874 M )
e). Junaid Al-Baghdadi ( w.298 H )
f). Al-Hallaj ( lahir tahun 244 H/838 M )

Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Keempat Hijriah
                 Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya pada abad ketiga karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Kota Baghdad sebagai ssatu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu mulai tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
                 Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama yang terkenal kealimannya, antara lain :
a). Musa Al-Anshory, mengajarkan tasawuf di Khurasan ( w. 320 H ).
b). Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan tasawuf di Mesir
( w. 322 H ).
c). Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkan tasawuf di Semenanjung Arabia (w.314 H).
d). Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy, mengajarkan tasawuf di
 Naisabur dan kota Syaraz ( w. 328 H ).
                 Ciri-ciri lain terdapat pada abad ini adalah semakin kuatnya unsur filsafat yang mempengaruhi corak tassawuf karenya banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalanga umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak permulaan Daulah Abbasiyah. Pada abad ini pula, mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu :
     :. Ilmu syariah;
     :. Ilmu tariqoh;
     :. Ilmu haqiqoh;
     :. Ilmu ma’rifah.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Kelima Hijriah
                   Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada abad ketiga dan keempat muncul dua aliran tasawuf, yaitu aliran tasawuf Sunni dan tasawuf semifilosofis. Pada abad kelima, aliran yanng pertama terus tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, aliran kedua mulai tenggelam dan baru muncul kembali, dalam bentuk lain, yaitu pada pribadi-pribadi para sufi yang juga filsuf abad keenam dan setelahnya.
                   Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima disebabkan berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ( w. 324 H ) atas aliran-aliran lainnya, dengan kritikannya yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Halaj ataupun para sufi lain yang ungkapan-ungkapannya ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai penyimpangan lainnya. Oleh karena itu, tasawuf pada abad kelima cenderung mengadakan pembaharuan, yaitu dengan mengembalikan pada landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
              Di antara tokoh-tokoh tasawuf abad ini adalah sebagai berikut .
a). Al-Qusyairi ( 376 H – 465 H ).
b). Al-Harawi ( lahir 396 H ).
c). Al-Ghazali ( 450 H – 505 H ).
              Pada abad inilah terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak tasawuf dengan ajaran tasawuf yang diamalkan pada abad pertama Hijriah. Akan tetapi, pada abad sesudahnya, kembali terlihat ada tanda-tanda yang menjurus pada perbedaan pendapat ahli tasawuf dengan fuqoha besert mutakallim karena corak tasawuf falsafi yang telah diamalkan pada abad ketiga dan keempat Hijriah kembali muncul di kalangan umat Islam.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Keenam Hijriah
                   Beberapa ulama tasawuf yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tasawuf abad ini, antara lain sebagai berikut.
     a). As-Suhrawardi Al-Maqtul ( w. 587 H/ 1191 M ).
     b). Al-Ghaznawy ( w. 545 H/1151 M ).
                   Pada abad kelima Hijriah, Imam Al-Ghazali telah mengembalikan citra ahli tasawuf di kalangan umat Islam, dengan mempertemukan ilmu zahir ( ilmu syariat ) dengan ilmu batin ( ilmu tasawuf ). Al-Ghazali berusaha memurnikannya dari unsur-unsur filsafat yang dinilainya membingungkan orang-orang Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hanya ahli filsafat yang menjadi lawan polemik ulama syariat dan ulama tasawuf. Akan tetapi, pada abad keenam hijriah, suasana kemelut antara ulama syariat dengan ulama tasawuf kembali meburuk karena dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran Al-Hulul, Wihdatul Wujud, dan Wihdatul Adyan oleh kebanyakan ulama tasawuf, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh As-Suhrawardy dan Al-Ghaznawy sehingga timbul berbagai protes dari ulama syariat dan mengajukan keberatannya kepada penguasa ketika itu.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Ketujuh Hijriah
                   Ada beberapa ulama tasawuf yang berpengaruh pada abad ini, antara lain sebagai berikut.
     a). Ibnul faridh ( 567 H/1181 M – 632 H/1233 M ).
     b). Ibnul Sabi’in ( 613 H/1215 M – 667 H ).
     c). Jalaluddin Ar-Rumy ( 604 H/1217 M – 672 H/1273 M ).
                   Pada abad ini, terjadi penurunan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf karena berbagai faktor, antara lain :
1). semakin gencarnya serangn ulama syariat memerangi ahli tasawuf, yang   diiringi dengan serangan golongan Syi’ah yang menekuni ilmu kalam dan fiqh.
2). adanya tekad penguasa ( pemerintah ) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam karena menganggap bahwa kegiatan itulah yang menjadi sumber perpecahan umat Islam.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Kedelapan Hijriah
                   Dengan terlewatinya abad ketujuh Hijriah hingga memasuki abad kedelapan, tidak terdengar lagi perkembangan dan pemikiran baru dalam tasawuf. Meskipun banyak pengarang kaum sufi yang mengemukakan pemikirannya tentang ilmu tasawuf, mereka kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari umat Islam sehingga boleh dikatakan bahwa nasib ajaran tasawuf ketika itu, hampir sama dengan nasibnya pada abad sebelumnya.
                  

                   Pengarang-pengarang kitab tasawuf pada abad ini , antara lain :
     a. Al-Kisany ( w. 739 H/1321 M ).
     b. Abdul Karim Al-Jily, pengarang kitab Al-Insan Al-Kamil.     
                   Kalau pada abad kelima Hijriah, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh muslim yang pernah memurnikan ajaran tasawuf dari unsur-unsur filsafat, pada abad ini Ibnu Taimiyah yang berfungsi seperti Imam Al-Ghazali.
                   Ajaran tasawuf yang dominan ketika itu adalah ajaran tasawuf Ibnu Arabi, antara lain pemikiran Wihdatul Wujud. Karena Ibnu Taimiyah memandang bahwa ajaran tersebut banyak menyesatkn masyarakat Islam, ia berupaya untuk memberantasnya, melalui kegiatan belajar mengajar serta berbagai karyanya, antara lain kitabnya yang berjudul Ar-Raddu ‘Ala Ibnu ‘Araby. Usaha-usaha seperti ini  dilanjutkan lagi oleh murid-muridnya, antara lain Ibnul Qayyim Al-Jauzy. Hingga abad-abad sesudahnya, selalu ada ulama yang berupaya seperti itu sampai sekarang.
Ø  Perkembangan Tasawuf pada Abad Kesembilan dan Kesepuluh Hijriah
              Dalam beberapa abad ini, ajaran tasawuf mulai memudar di dunia Islam. Nasibnya lebih buruk lagi daripada keadaanya pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriah. Banyak di antara peneliti muslim yang menarik kesimpulan bahwa dua faktor yang sangat menonjol yang menyebabkan runtuhnya pengaruh ajaran tasawuf di dunia Islam, yaitu :
1). Ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan masyarakat Islam sebab banyak di antara mereka yang terlalu menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya, misalnya tidak lagi menjalankan shalat karena mereka sudah mencapai tingkat ma’rifat;
2). Penjajah bangsa Eropa yang beragama Nasrani sudah menguasai seluruh negeri Islam. Tentu saja, paham-paham sekularisme dan materialisme, selalu dibawa dan digunakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf yang sangat bertentangan dengan pahamnya.
              Meskipun nasib ajaran tasawuf sangat menyedihkan dalam empat abad tersebut diatas, tidak berarti bahwa ajaran tasawuf sama sekali hilang di atas bumi Islam ditelan masa. Ini terlihat masih adanya ahli tasawuf yang memunculkan ajarannya, dengan mengarang kitab kitab-kitab yang memuat tasawuf, antara lain :
1). Abdul Wahhab Asy-Sya’rany; hidup tahun 898-973 H – 1493-1565 M. Diantara karangannya yang memuat ajaran tasawuf berjudul Al-Latha’if Al-Minan ( kehalusan hati ).
2). Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijany; lahir di ‘Ain Mahdi tahun 1150 H/1737 M, lalu wafat tahun 1230 H/1815 M. Ia sebagai pendiri tarekat Tijaniyah.
3).   Sidi Muhammad bin Ali As-Sanusy; lahir di Tursy tahun 1206 H/1791 M. Ia sebagai pendiri tarekat Sanusiyah.
4).   Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi; wafat tahun 1332 H/1914 M. Ia sebagai pengarang kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalah ‘Allam Al-Ghuyub; serta termasuk pengikut tarekat Naqsabandiyah.[9]







BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Tasawuf
            a). Secara etimologi.
                        Para ahli berbeda pendapat mengenai pengertian tasawuf, sehingga             muncul banyak pengertian. Akan tetapi dari beberapa pengertian yang muncul, yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang ini adalah shuf [صوف] yang berarti bulu domba atau wol.
b). Secara istilah.
                        Secara istilah tasawuf mempunyai arti upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh SWT.
2. Asal-usul Tasawuf
            Tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al Qur’an dan as-Sunah, yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu, kedua sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat tahajjud, berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan inti tasawuf. Kedua sumber tersebut juga mendorong kepada umat manusia agar mempunyai sifat-sifat terpuji itu. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar manusia termotivasi mencari surga dan menjauhkan diri neraka.



DAFTAR PUSTAKA
Adnan. 2009. Perkembangan pemikiran modern dalam Islam. Semarang : RaSAIL  Media Group.
Anwar, Rosihon.  2010. Akhlak Tasawuf., Bandung : Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 2009. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Solihin, M dan Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur, Amin. 2002. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


                [1] Prof.Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 ),143
                [2] Prof.Dr. .M. Solihin, M.Ag, Dr.Rosihon Anwar, M.Ag. Ilmu Tasawuf  (Bandung : Pustaka Setia, 2008),11.
                [3] Drs. Adnan, M.Ag. Perkembangan pemikiran modern dalam Islam (Semarang : RaSAIL  Media Group, 2009), 162.
[4] Prof.Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) 143-144.
[5] Prof.Dr.H.M.Amin Syukur, M.A. Menggugat Tasawuf  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), 8.
[6] Prof.Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 ) 144.

[7] H. Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf  (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) , 180-181    
[8] Prof.Dr.H.M.Amin Syukur, M.A. Menggugat Tasawuf  (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), 19-22.

                [9]Prof.Dr. Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 ), 165-194.
Kajian Historis Tasawuf ( Tasawuf ) Kajian Historis Tasawuf ( Tasawuf ) Reviewed by Pena Alfaqir on 10.22 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.