BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Iman, Islam dan Ihsan merupakan satu rangkaian dalam beragama
Islam, sehingga tidak boleh dipisahkan di antara ketiganya. Alasan itu sendiri
sebagai alat kontrol manusia dalam segala perbuatannya dapat dikaitkan dengan
tasawuf. Adanya keterkaitan ini maka tasawuf termasuk sebuah sisi ajaran dalam
Islam yang keberadaannya belum begitu mendapat perhatian secara penuh oleh umat
Islam, padahal tasawuf sebenarnya juga merupakan sumber dan fitalitas dari
wujud dan kegiatan yang bermuara pada sebuah pengenalan terhadap universalitas
ajaran Islam. Betapapun kita telah sepakat bahwa Islam adalah suatu agama yang
bisa menjawab dan memecahkan beberapa persoalan yang timbul dan melilit di
dalam perjalanan kehidupan manusia baik yang bersifat ukhrawiah maupun
duniawiah, baik yang nyata maupun yang metafisika.
Keuniversalan
ajaran Islam yang sanggup menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi manusia
dan tasawuf sebagai bagian dari ajaran Islam, tentunya sanggup menjawab dan
memecahkan persoalan yang dihadapi manusia, khususnya umat Islam dalam aspek
duniawi dan ukhrawi, sehingga diperoleh nilai keseimbangan antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf ?
2. Bagaimana asal-usul tasawuf?
3. Bagaimana pendapat tentang muncul dan perkembangan tasawuf?
BAB II
PENGERTIAN TASAWUF
A. Pengertian
Tasawuf
Dalam mengajukan teori tentang pengertian tasawuf, baik secara
etimologi maupun secara istilah, para ahli berbeda pendapat. Secara etimologi,
pengertian tasawuf terdiri atas beberapa macam pengertian berikut.
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlus suffah [ اهل الصّفة ], yang berarti sekelompok orang pada masa Rosulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alloh SWT.[1]
Pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlus suffah [ اهل الصّفة ], yang berarti sekelompok orang pada masa Rosulullah yang hidupnya diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alloh SWT.[1]
Kedua, tasawuf berasal
dari kata shafa [ صفاء ]. Kata
shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim
mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang
yang “bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang menyucikan dirinya di
hadapan Tuhannya.[2]
Ketiga, istilah tasawuf
berasal dari kata shaff [صف] artinya
barisan shalat. Karena
orang-orang yang kuat serta suci batasnya biasanya shalat memilih shaff
( barisan ) yang dimuka dalam berjamaah.[3]
Keempat, istilah tasawuf
dinisbahkan kepada orang-orang dari bani Shufah.
Kelima, tasawuf
dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau Yunani, yaitu saufi [ سوفى ]. Istilah ini
disamakan maknanya dengan kata hikmah [ حكمة ], yang berarti kebijaksanaan.[4]
Keenam, ada yang
mengatakan berasal dari kata Shufanah, yakni nama kayu yang bertahan
tumbuh di padang pasir.[5]
Ketujuh, tasawuf berasal
dari kata shuf [صوف] yang berarti bulu domba atau wol.
Dari ketujuh terma tersebut, yang banyak diakui kedekatannya dengan
makna tasawuf yang dipahami sekarang ini adalah terma ketujuh, yaitu terma shuf.
[6]
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli
amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama
ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan
tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan. Jika
dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf
dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan
pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Alloh SWT.
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan
manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan
sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menhubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya
dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf intinya adalah upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan
dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh SWT. Dengan
kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan
mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat
tasawuf.[7]
B. Asal-usul Tasawuf
Para Sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun dari kalangan
Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi
munculnya tasawuf dalam Islam. Abul A’la ‘Afifi dalam Kata Pengantar Edisi
Arab, Fit Tashawwuf al-Islami wa Tarikhihi, mengklasifikasikan pendapat
para sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama,
dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari
asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari
sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep.
Nicholson lebih condong menyimpulkan bahwa tasawuf itu sedikit
banyak telah dipengaruhi oleh faktor Nasrani ( Nicholson, 1969 ). Namun hal ini
dibantah oleh al-Taftazani(1970) bahwa dalam Islam tidak ada sistem kependetaan
(rahbaniyah) sebagaimana terdapat dalam agama Nasrani. Adanya kesamaan
antara tasawuf dengan rahbaniyah dalam Nasrani tidak berarti Islam
mengambil daripadanya, karena kehidupan semacam tasawuf merupakan kecenderungan
universal yang terdapat dalam semua agama atau bisa juga dikatakan bahwa sumber
agama adalah satu, sekalipun berbeda dalam segi formal dan detailnya. Makan
dengan demikian adanya kesamaan itu adalah logis.
Terhadap pandangan orientalisnyang menyatakan bahwa tasawuf dalam
Islam dipengaruhi oleh rahbaniyah Nasrani, dia menyatakan bahwa mereka
salah dalam menafsirkan terhadap para hanif. Nicholson kembali
mempertegas teorinya, bahwa bangsa Arab mengetahui tentang kepercayaan Nasrani
meskipun hanya sedikit. Hal ini dapat dilihat dari sya’ir-sya’ir mereka
yang mengenal kerahiban Nasrani. Mereka memuliakan para rahib itu, dan
dari para rahib itu pula mereka mengambil pelajaran tentang tasawuf.
Pandangan ini dibantah oleh Nasysyar (1977), bahwa yang diteladani dan dimintai
petunjuk bukanlah rahib Nasrani, akan tetapi para hanif yang tidak mau menyembah berhala. Mereka lebih
dekat dengan kepercayaan tauhid, hidup bertasawuf dan mujahadah,
memakai pakaian bulu domba (shuf),
mengharamkan memakan sebagian makanan yang halal. Mereka inilah yang
banyak mengetahui tentang Nabi Muhammad saw. dan bahkan dua
orang dari mereka ada yang mempunyai hubungan kerabat dengan Nabi saw.
Menurut al-Nasysyar ada kekeliruan lain dari Nicholson, yakni dalam
menafsirkan Qus ibn Sa’idah al-;Iyadi. Dengan berpegang kepada pendapat Ibn Katsir
dalam al-Bidayah wan Nihayah, bahwa suatu ketika Jarud ibn al-Ma’la ibn
Hamsy ditanya oleh Nabi Muhammad saw. tentang Qis ibn Sa’idah, maka Jarud
menjawabnya bahwa dia memutar biji tasbih seperti Isal al-Masih, berpakaian
pendeta, hidup bagai hidupnya pengembara dan pendeta. Dia pernah berjumpa
dengan Sam’an, kepala kaum Hawariyyin. Lebih jauh lagi diceritakan oleh Jarud
bahwa Qus adalah orang yang pertama mengesakan Tuhan dan menyakini Hari
Kebangkitan dan pada akhir ceritanya, Jarud menyatakan bahwa dia adalah seorang
hanif yang mentauhidkan Alloh, katanya:
“Tidaklah begitu, bahkan Dia ( Tuhan ) adalah Tuhan yang Esa,
tidak diperanakkan dan memperanakkan, Dzat yang mengembalikan dan mengekalkan,
mematikan dan menghidupkan, pencipta laiki-laki dan perempuan, Tuhan dunia dan
akhirat.”
Berdasarkan inilah, maka al-Nasysyar berkesimpulan bahwa Qus ibn Sa’idah
al-‘Iyadi adalah bukan seorang Nasrani, tetapi seorang hanif.
Dengan demikian tasawuf lahir karena didorong oleh ajaran Islam
sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, Al Qur’an dan al-Sunah, yakni
mendorong untuk hidup sufistik. Selain itu, kedua sumber tersebut
mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat tahajjud (al-Muzammil,
ayat 7 ), berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan inti tasawuf. Al
Qur’an mendeskripsikan sifat-sifat orang wara’, dan taqwa dalam surat
al-Ahzab ayat 35 sebagai berikut :
إنّ
المسلمون والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصّادقين
والصّادقات والصّابرين والصّابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدّقين والمتصدّقات
والصّائمين والصّائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذّاكرين الله كثيرا
والذّاكرت اعدالله لهم مغفرة وأجراعظيما
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang jujur, sabar, khusyu’, mau mengeluarkan sedekah, mau berpuasa, mau
memelihara kehormatannya, yang banyak dzikir kepada Alloh, maka Alloh akan
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Ayat ini mendorong
kepada umat manusia agar mempunyai sifat-sifat terpuji itu. Dalam berbagai ayat
banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar manusia termotivasi mencari surga
dan menjauhkan diri neraka.[8]
C. Perkembangan Tasawuf
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Kesatu dan Kedua Hijriah.
Perkembangan tasawuf pada abad kesatu dan kedua hijriah dapat
dibagi ke dalam empat aliran.
1). Aliran Madinah
Sejak masa awal,
di Madinah telah muncul para sufi. Mereka kuat berpegang teguh pada Al Quran
dan As-Sunnah, dan menetapkan Rosululloh SAW. sebagai panutan kezuhudannya.
Para sahabat dalam kehidupannya selalu mencontoh kehidupan Rosululloh SAW. yang
serba sederhana dan hidupnya hanya diabdikan kepada Tuhannya. Para sahabat
tersebut adalah sebagai berikut :
a). Abu
Bakar Ash-Shiddiq ( w. 13 H ) .
b).
Umar bin Khaththab ( w.23 H ).
c).
Utsman bin Affan ( w.35 H ).
d).
Ali bin Abi Thalib ( w. 40 H )
e).
Salman Al-Farisi ( w.32 H ).
f).
Abu Dzar Al-Ghifary ( w.22 H ).
g).
Ammar bin Yasir ( w.37 H ).
h).
Hudzaifah bin Al-Yaman ( w. 36 H )
i).
Al-Miqdad bin Al-Aswad ( w.33 H )
Di antara
tokoh-tokoh ulama sufi pada masa tabi’in dari aliran Madinah adalah:
( 1
). Sa’id ibn Al-Musayyab ( w. 91 H )
( 2 ). Salim bin ‘Abdullah
2). Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan bahwa pada abad kesatu dan kedua
Hijriah terdapat dua aliran asketisme Islam yang menonjol, yaitu Bashrah dan
Kufah. Di antara tokoh sufi yang menonjol dari Aliran Basrah.
a).
Al-Hasan Al-Bashry ( 22 H – 110 H )
b).
Rabi’ah Al-Adawiyah ( 96 H/713 M – 185 H/801 M )
c).
Malik bin Dinar ( w. 131 H )
3). Aliran Kufah
Aliran Kufah bercorak idealis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu,
imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hadis. Mereka cenderung pada aliran
Syi’ah dan Murji’ah. Itu terjadi karena Syi’ah adalah aliran kalam yang pertama
kali muncul di Kufah. Di antara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut :
a).
Sufyan Ats-Tsaury (97 H/715 M – 161 H/778 M ).
b).
Ar-Rabi’ bin Khatsim ( w. 67 H ).
c).
Sa’id bin Jubair ( w. 95 H ).
d). Thawus bin Kisan ( w. 106 H ).
4). Aliran Mesir
Di antara tokoh-tokoh sufi aliran Mesir abad pertama Hijriah adalah
Salim bin “Atar At-Tjibi ( w. 75 H ), ‘Abdurrahman bin Hujairah ( w. 69 H ),
Nafi’ ( w.117 H ), Al-Laits bin Sa’ad ( w. 175 H ), Hayah bin Syuraih (w. 158 H
), dan ‘Abdullah bin Wahab ( w. 179 H ).
Pada awal abad
pertama Hijriah, ulama-ulama tasawuf hanya berada dibeberapa kota yang tidak
jauh dari kota Madinah, seperti kota Mekah, Kufah, Basrah, dan kota-kota kecil
lainnya. Akan tetapi, pada abad kedua Hijriah, ulama-ulama tersebut sudah
menyebar ke berbagai negeri di wilayah kekuasaan Islam. Kalau pada abad
pertama, istilah sufi masih kurang dikenal oleh masyarakat Islam, kecuali yang
dikenalnya dengan memberikan nama kepada ahli zuhud.
Ciri lain yang
terdapat pada perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah adalah
kemurniannya dibandingkan dengan kemurnian tasawuf pada abad-abad sesusahnya yang
sudah tercampuri ajaran filsafat beserta tradisi agama dan kepercayaan yang
dianut oleh manusia sebelum Islam.
Secara Umum,
tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriah memiliki karakteristik berikut :
1. Berdasarkan
ide menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan memelihara diri dari azab
neraka.
2. Bercorak
praktis. Para tokohnya tidak menaruh perhatian untuk menyusun teoretis
atas tasawuf. Sementara sarana-sarana praktisnya adalah hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh,
sedikit makan ataupun minum, banyak beribadah dan mengingat Alloh SWT,
berlebihan dalam merasa berdosa. Yunduk mutlak kepada kehendak Alloh SWT, dan
berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian, tasawuf pada saat itu mengarah pada
tujuan moral.
3. Motivasi
tasawufnya adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan
keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriah di
tangan Rabi’ah Al-Adawiyah, muncul motivasi cinta kepada Alloh SWT.
4. Ditandai
dengan kedalaman membuat analisis khususnya di Khurasan yang dipandang sebagai
pendahuluan tasawuf secara teoretis.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Ketiga Hijriah
Pada abad
ketiga Hijriah, terlihat adanya peralihan konkret pada asketisme Islam. Para
asketis masa itu tidak lagi dikenal dengan gelaran tersebut, tetapi lebih
dikenal dengan sebutan sufi. Mereka pun cenderung memperbincangkan
konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya tentang moral, jiwa,
tingkah laku, pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju
Alloh SWT. yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqom) dan keadaan (hal),
makrifat dan metode-metodenya, tauhid, fana’, penyatuan atau hulul.
Selain itu,
mereka pun menyusun prinsip-prinsip teoretis dari semua konsep diatas. Bahkan,
mereka mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya dikenal dalam kalangan
mereka, yang asing bagi kalangan luar mereka.
Dapat
dikatakan bahwa abad ketiga adalah abad awal mula tersusunnya ilmu tasawuf
dalam arti yang luas. Selain itu, karakteristik tasawuf, sebagaimana telah
dikemukakan, mulai tampak jelas. Kondisi ini tetap berlangsung sampai abad
keempat sehingga tasawuf kedua abad ini bisa dipandang sebagai tasawuf yang
perkembangannya telah mencapai kesempurnaan.
Menurut
At-Taftazani, terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga dan keempat. Pertama,
aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat ( tasawuf Sunni ).
Tasawufnya selalu merujuk pada Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan kata lain,
tasawuf aliran ini selalu bertandakan timbangan syariah. Sebagian sufinya
adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua,
aliran para sufi yang terpesona oleh keadaan-keadaan fana’ ( tasawuf
semifilosofis ). Mereka sering mengucapkan kata-kata ganjil yang terkenal
dengan sebutan syathahat.
Tokoh-tokoh
sufi yang terkenal pada abad ini, antara lain sebagai berikut.
a). Abu Sulaiman Ad-Darani ( w. 215 H )
b). Ahmad bin Al-Harawy Ad-Damasqiy ( w.230 H )
c). Dzu An-Nun Al-Misri (
155 H/770 M – 245 H/860 M )
d). Abu Yazid Al-Bustami ( w.261 H/874 M )
e). Junaid Al-Baghdadi ( w.298 H )
f). Al-Hallaj ( lahir tahun 244 H/838 M )
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Keempat Hijriah
Abad ini
ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan kemajuannya
pada abad ketiga karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan
ajaran tasawufnya masing-masing. Kota Baghdad sebagai ssatu-satunya kota yang
terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu
mulai tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Upaya untuk
mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa
ulama yang terkenal kealimannya, antara lain :
a). Musa Al-Anshory, mengajarkan tasawuf di Khurasan ( w. 320 H ).
b). Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan tasawuf di Mesir
( w. 322 H ).
c).
Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkan tasawuf di Semenanjung Arabia (w.314 H).
d). Abu Ali
Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy, mengajarkan tasawuf di
Naisabur dan kota Syaraz ( w. 328 H ).
Naisabur dan kota Syaraz ( w. 328 H ).
Ciri-ciri lain terdapat pada
abad ini adalah semakin kuatnya unsur filsafat yang mempengaruhi corak tassawuf
karenya banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalanga umat Islam dari hasil
terjemahan orang-orang muslim sejak permulaan Daulah Abbasiyah. Pada abad ini
pula, mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat
dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu :
:. Ilmu syariah;
:. Ilmu tariqoh;
:. Ilmu haqiqoh;
:. Ilmu ma’rifah.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Kelima Hijriah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pada abad ketiga dan keempat
muncul dua aliran tasawuf, yaitu aliran tasawuf Sunni dan tasawuf
semifilosofis. Pada abad kelima, aliran yanng pertama terus tumbuh dan
berkembang. Sebaliknya, aliran kedua mulai tenggelam dan baru muncul kembali,
dalam bentuk lain, yaitu pada pribadi-pribadi para sufi yang juga filsuf abad
keenam dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua
pada abad kelima disebabkan berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal
Jama’ah karena keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari ( w. 324 H ) atas
aliran-aliran lainnya, dengan kritikannya yang keras terhadap keekstreman
tasawuf Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Halaj ataupun para sufi lain yang
ungkapan-ungkapannya ganjil, termasuk kecamannya terhadap semua bentuk berbagai
penyimpangan lainnya. Oleh karena itu, tasawuf pada abad kelima cenderung
mengadakan pembaharuan, yaitu dengan mengembalikan pada landasan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Di antara tokoh-tokoh tasawuf abad
ini adalah sebagai berikut .
a). Al-Qusyairi
( 376 H – 465 H ).
b). Al-Harawi (
lahir 396 H ).
c).
Al-Ghazali ( 450 H – 505 H ).
Pada abad inilah
terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak tasawuf dengan ajaran tasawuf yang
diamalkan pada abad pertama Hijriah. Akan tetapi, pada abad sesudahnya, kembali
terlihat ada tanda-tanda yang menjurus pada perbedaan pendapat ahli tasawuf
dengan fuqoha besert mutakallim karena corak tasawuf falsafi yang telah
diamalkan pada abad ketiga dan keempat Hijriah kembali muncul di kalangan umat
Islam.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Keenam Hijriah
Beberapa ulama tasawuf yang sangat berpengaruh dalam perkembangan
tasawuf abad ini, antara lain sebagai berikut.
a). As-Suhrawardi
Al-Maqtul ( w. 587 H/ 1191 M ).
b). Al-Ghaznawy ( w. 545
H/1151 M ).
Pada abad kelima Hijriah,
Imam Al-Ghazali telah mengembalikan citra ahli tasawuf di kalangan umat Islam,
dengan mempertemukan ilmu zahir ( ilmu syariat ) dengan ilmu batin ( ilmu
tasawuf ). Al-Ghazali berusaha memurnikannya dari unsur-unsur filsafat yang dinilainya
membingungkan orang-orang Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hanya ahli
filsafat yang menjadi lawan polemik ulama syariat dan ulama tasawuf. Akan
tetapi, pada abad keenam hijriah, suasana kemelut antara ulama syariat dengan
ulama tasawuf kembali meburuk karena dihidupkannya lagi pemikiran-pemikiran
Al-Hulul, Wihdatul Wujud, dan Wihdatul Adyan oleh kebanyakan ulama
tasawuf, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh As-Suhrawardy dan Al-Ghaznawy
sehingga timbul berbagai protes dari ulama syariat dan mengajukan keberatannya
kepada penguasa ketika itu.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Ketujuh Hijriah
Ada beberapa ulama tasawuf yang berpengaruh pada abad ini, antara
lain sebagai berikut.
a).
Ibnul faridh ( 567 H/1181 M – 632 H/1233 M ).
b). Ibnul Sabi’in ( 613
H/1215 M – 667 H ).
c). Jalaluddin Ar-Rumy ( 604 H/1217 M – 672
H/1273 M ).
Pada abad ini, terjadi
penurunan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf karena berbagai
faktor, antara lain :
1). semakin gencarnya serangn
ulama syariat memerangi ahli tasawuf, yang diiringi dengan serangan golongan Syi’ah yang
menekuni ilmu kalam dan fiqh.
2). adanya tekad penguasa (
pemerintah ) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam
karena menganggap bahwa kegiatan itulah yang menjadi sumber perpecahan umat
Islam.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Kedelapan Hijriah
Dengan terlewatinya abad ketujuh Hijriah hingga memasuki abad
kedelapan, tidak terdengar lagi perkembangan dan pemikiran baru dalam tasawuf.
Meskipun banyak pengarang kaum sufi yang mengemukakan pemikirannya tentang ilmu
tasawuf, mereka kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari umat
Islam sehingga boleh dikatakan bahwa nasib ajaran tasawuf ketika itu, hampir
sama dengan nasibnya pada abad sebelumnya.
Pengarang-pengarang kitab
tasawuf pada abad ini , antara lain :
a. Al-Kisany ( w. 739
H/1321 M ).
b. Abdul Karim Al-Jily, pengarang kitab Al-Insan
Al-Kamil.
Kalau pada abad kelima
Hijriah, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh muslim yang pernah memurnikan
ajaran tasawuf dari unsur-unsur filsafat, pada abad ini Ibnu Taimiyah yang
berfungsi seperti Imam Al-Ghazali.
Ajaran tasawuf yang dominan
ketika itu adalah ajaran tasawuf Ibnu Arabi, antara lain pemikiran Wihdatul
Wujud. Karena Ibnu Taimiyah memandang bahwa ajaran tersebut banyak
menyesatkn masyarakat Islam, ia berupaya untuk memberantasnya, melalui kegiatan
belajar mengajar serta berbagai karyanya, antara lain kitabnya yang berjudul Ar-Raddu
‘Ala Ibnu ‘Araby. Usaha-usaha seperti ini
dilanjutkan lagi oleh murid-muridnya, antara lain Ibnul Qayyim Al-Jauzy.
Hingga abad-abad sesudahnya, selalu ada ulama yang berupaya seperti itu sampai
sekarang.
Ø Perkembangan Tasawuf pada Abad
Kesembilan dan Kesepuluh Hijriah
Dalam beberapa abad ini, ajaran tasawuf mulai memudar di dunia
Islam. Nasibnya lebih buruk lagi daripada keadaanya pada abad keenam, ketujuh,
dan kedelapan Hijriah. Banyak di antara peneliti muslim yang menarik kesimpulan
bahwa dua faktor yang sangat menonjol yang menyebabkan runtuhnya pengaruh
ajaran tasawuf di dunia Islam, yaitu :
1). Ahli tasawuf sudah kehilangan kepercayaan di kalangan
masyarakat Islam sebab banyak di antara mereka yang terlalu menyimpang dari
ajaran Islam yang sebenarnya, misalnya tidak lagi menjalankan shalat karena
mereka sudah mencapai tingkat ma’rifat;
2). Penjajah bangsa Eropa yang beragama Nasrani sudah menguasai
seluruh negeri Islam. Tentu saja, paham-paham sekularisme dan materialisme,
selalu dibawa dan digunakan untuk menghancurkan ajaran tasawuf yang sangat
bertentangan dengan pahamnya.
Meskipun nasib
ajaran tasawuf sangat menyedihkan dalam empat abad tersebut diatas, tidak
berarti bahwa ajaran tasawuf sama sekali hilang di atas bumi Islam ditelan
masa. Ini terlihat masih adanya ahli tasawuf yang memunculkan ajarannya, dengan
mengarang kitab kitab-kitab yang memuat tasawuf, antara lain :
1).
Abdul Wahhab Asy-Sya’rany; hidup tahun 898-973 H – 1493-1565 M. Diantara
karangannya yang memuat ajaran tasawuf berjudul Al-Latha’if Al-Minan (
kehalusan hati ).
2).
Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijany; lahir di ‘Ain Mahdi tahun
1150 H/1737 M, lalu wafat tahun 1230 H/1815 M. Ia sebagai pendiri tarekat
Tijaniyah.
3). Sidi Muhammad bin Ali As-Sanusy; lahir di
Tursy tahun 1206 H/1791 M. Ia sebagai pendiri tarekat Sanusiyah.
4). Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi; wafat tahun
1332 H/1914 M. Ia sebagai pengarang kitab Tanwirul Qulub fi Mu’amalah ‘Allam
Al-Ghuyub; serta termasuk pengikut tarekat Naqsabandiyah.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian Tasawuf
a).
Secara etimologi.
Para
ahli berbeda pendapat mengenai pengertian tasawuf, sehingga muncul banyak pengertian. Akan
tetapi dari beberapa pengertian yang muncul, yang banyak diakui kedekatannya
dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang ini adalah shuf [صوف] yang berarti bulu domba atau wol.
b). Secara istilah.
Secara
istilah tasawuf mempunyai arti upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang
dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin
akhlak yang mulia dan dekat dengan Alloh SWT.
2.
Asal-usul Tasawuf
Tasawuf lahir
karena didorong oleh ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya,
Al Qur’an dan as-Sunah, yakni mendorong untuk hidup sufistik. Selain
itu, kedua sumber tersebut mendorong agar umatnya beribadah, berperilaku baik, shalat
tahajjud, berpuasa dan sebagainya, yang semua itu merupakan inti tasawuf.
Kedua sumber tersebut juga mendorong kepada umat manusia agar mempunyai
sifat-sifat terpuji itu. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan
neraka, agar manusia termotivasi mencari surga dan menjauhkan diri neraka.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnan. 2009. Perkembangan pemikiran modern dalam Islam. Semarang :
RaSAIL Media Group.
Anwar, Rosihon.
2010. Akhlak Tasawuf., Bandung :
Pustaka Setia.
Nata, Abuddin.
2009. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Solihin, M dan
Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Syukur,
Amin. 2002. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[4]
Prof.Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 )
143-144.
[5]
Prof.Dr.H.M.Amin
Syukur, M.A. Menggugat Tasawuf
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), 8.
[6]
Prof.Dr.
Rosihon Anwar, M.Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2010 )
144.
[7] H. Abuddin
Nata. Akhlak Tasawuf (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009) , 180-181
[8]
Prof.Dr.H.M.Amin
Syukur, M.A. Menggugat Tasawuf
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002 ), 19-22.
Kajian Historis Tasawuf ( Tasawuf )
Reviewed by Pena Alfaqir
on
10.22
Rating:
Tidak ada komentar: